Rabu, 30 September 2015

Bangsa Moro MERDEKA

Setelah berjuang 17 (tujuh belas tahun) dalam negosiasi panjang dan melelahkan, akhirnya setahap demi setahap keinginan bangsa Moro telah tercapai. Pada hari ini, Kamis 27 Maret 2004 tepat pukul 16.00 WIB merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Moro. Mengambil tempat di istana Malacanang, Manila dan disaksikan Perdana Menteri Malaysia yang bertindak sebagai saksi, dilakukan perjanjian perdamaian komprehensif  (The Comprehensive Agreement on the Bangsamoro) antara Pemerintah Phillipina dalam hal ini diwakili oleh Presiden Benigno Aquino dengan Bangsa Moro atau MILF (Moro Islamic Liberation Front) yang diketuai Haji Murad Ibrahim yang disiarkan langsung stasiun TV Phillipina serta TV Pemerintah Malaysia (TV1 dan TV3).

***





13959164081060768782
Moro


Begitu pentingnya perjanjian damai itu, hingga dihadiri oleh lebih dari 20,000 orang, termasuk Pangeran Abdulaziz bin Abdullah dari Arab Saudi dan Duta Besar Arab Saudi di Manila Abdullah al Hasan, tampak hadir diantara undangan khusus itu. Perjanjian damai itu akan menjadi modal dasar bagi bangsa Moro, menjadi apa yang disebutnya sebagai hukum dasar (Bangsamoro basic law) dan menyudahi konflik bersenjata terpanjang dan paling mematikan dalam sejarah perang saudara di Asia. Selanjutnya Komisi Transisi Bangsamoro akan menjadi lembaga sementara (ad hoc) yang akan mengatur segala hal yang terkait dengan wewenang-wewenang baru yang dimiliki bangsa Moro hingga digelar pemilu tahun 2016 nanti.

Bangsa Moro akan menguasai sekitar 10 (sepuluh) persen wilayah Phillipina Selatan, dan sejak hari ini berhak membentuk lembaga otonomi khusus, serta akan memiliki Polisi sendiri, Parlemen, serta melakukan pungutan pajak yang terlepas dari Pemerintah Phillipina. Bidang-bidang teknis yang diserahkan secara penuh kepada bangsa Moro sebagai negara didalam negara.

Keputusan dari negosiasi panjang ini merupakan kebijakan tersulit bagi Pemerintahan Aquino. tidak mudah untuk begitu saja, pada akhirnya, bersedia duduk bersama dan menandatangani perjanjian yang tentu saja bagi bangsa Moro, merupakan kemenangan diplomasi terbesar yang pernah diraihnya. Tidak dapat dipungkiri para pemimpin MILF setengah tidak percaya Pemerintah Phillipina akhirnya bersedia menerima tuntutan mereka. Bagi rakyat Moro, perjanjian damai ini merupakan rahmat Illahi Robi, Allah Swt setelah mereka hidup dalam konflik bersenjata yang berkelanjutan dan situasi kehidupan politik yang selalu bereskalasi tinggi.

Hingga saat ini, sebut saja ketua MILF Murad Ibrahim dan wakilnya Ghazali Jaafar masih harus waspada akan konsistensi Pemerintah Phillipina, mengingat banyak kelompok kepentingan yang merasa perjanjian damai  ini tidak sesuai dengan aspirasi mereka, bahkan kelompok politisi Katolik asal daerah pemilihan Mindanao, yang tentu saja akan kehilangan kekuasaannya, bersiap menggugat perjanjian damai ini ke Mahkamah Agung Phillipina dan meminta pembatalan perjanjian dimaksud. Begitu juga kelompok-kelompok berkepentingan di Manila yang juga akan menggugat ke Mahkamah Agung (Supreme Court) dan menganggap perjanjian ini menyalahi UUD Phillipina atau tidak konstitutional.

Kekuatiran petinggi MILF nampaknya beralasan mengingat akan terjadinya pergantian pemerintahan Phillipina. Dalam pemilu Juni 2016 nanti Presiden Benigno Aquino Jr tidak "duduk" kembali sebagai presiden karena sistem Presidensial Phillipina yang hanya mengakomodir 1 (satu) masa jabatan kepresidenan selama 6 (enam) tahun, dan Pemerintah Phillipina yang baru atas desakan kelompok besar berkepentingan mendesak Mahkamah Agung memerintahkan pembatalan perjanjian atas nama keutuhan bangsa sesuai dengan konstitusi negara Phillipina, maka bisa saja perjanjian yang dianggap landmark bagi bangsa Moro akan mentah kembali, dan konflik bersenjata antara angkatan bersenjatan Phillipina dengan MILF yang didukung 5% populasi Muslim minoritas bangsa Moro akan kembali terjadi.
***





13959244671014319897
MNLF Moro, source : kuwaittimes


1395917695695213875
Gerilyawan Moro, source : Irrawady.org


Di Manila hari ini, Ketua MNLF (Moro National Liberation Front) Datu Abul Khayr Alonto, meminta agar negara-negara yang selama ini aktif menegakkan terwujudnya perdamaian, agar terus konsisten menjaga dan mengingatkan Pemerintah Phillipina siapapun nanti agar terus menjaga "marwah" perdamaian yang telah disepakati pada hari ini. Negara-negara yang dimaksud oleh Abul Khayr Alonto adalah Malaysia, Jepang, Australia , AS  yang memberikan pernyataan resmi dukugan terhadap perdamaian kawasan Phillipina Selatan. Selain itu negara-negara yang tergabung dalam Tim Monitoring Antar bangsa seperti Indonesia, Brunei, Norwegia, Libya, Uni-Eropa serta perwakilan Bank Dunia diminta dengan sepenuh hati untuk menjaga keberlanjutan perjanjian "bangsamoro pact" dimaksud.

Sejatinya perdamaian di kawasan selatan Phillipina, adalah kemenangan semua rakyat Phillipina dan ASEAN secara lebih luas. Karena kepentingan bangsa-bangsa Asia Tenggara dalam mewujudkan kawasan damai dan maju berkelanjutan secara ekonomi dalam rangka AFTA dan AEC merupakan cita-cita bersama menuju masa depan kawasan yang lebih sejahtera.

Akhirnya, kita semua bersyukur kehadirat Illahi Robbi atas terwujudkan perdamaian dimaksud. Mudah-mudahan sustainable bagi rakyat Moro dalam mewujukan cita-citanya menegakkan syariat Islam bagi masyarakatnya dan hidup berdampingan dengan saudaranya, sebagai sebuah bangsa yang damai dan bermartabat.

Selamat berpisah dengan perang..
sumber :  http://www.kompasiana.com/irhamwp/bangsa-moro-kini-telah-merdeka_54f7d0aba33311aa608b45cc

sejarah Agama Islam di Filipina

Islam masuk ke Filipina sebelum penjelajah Spanyol menginjakkan kaki di tanah negeri ini. Itu dibuktikan dengan adanya laporan seorang pengembara Cina pada zaman Dinasti Yuan, 1280-1368.

Muslim di Filipina biasanya dikenali sebagai masyarakat Moro. Mereka umumnya berdiam di Pulau Mindanao (pulau kedua terluas di Filipina), Kepulauan Sulu, Palawan, Basilan, dan pulau-pulau sekitarnya. Secara geografis, gugusan pulau-pulau ini berada di selatan Filipina, sedangkan bagian utara negeri ini adalah gugusan Kepulauan Luzon.

Sejumlah literatur menyebutkan, istilah 'Moro' merujuk kepada kata Moor, Mariscor, atau Muslim. Kata Moor berasal dari istilah latin, Mauri, sebuah istilah yang sering digunakan orang-orang romawi kuno untuk menyebut penduduk wilayah Aljazair barat dan Maroko. Ketika bangsa Spanyol tiba di wilayah Filipina dan menemukan sebuah bangsa yang memiliki agama dan adat istiadat seperti orang-orang Moor di Spanyol Andalusia, mereka mulai menyebut orang-orang di Filipina dengan istilah Moro.

Dalam sejarahnya, Islam masuk ke Filipina, tidak lama setelah Islam berkembang di dunia Melayu. Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada 1380 M yang dibawa oleh seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul al Makhdum (Syeikh Makhdum). Banyak pedagang dan dai Muslim yang mengikuti Syeikh Makhdum. Mereka berdiam di sana dan mengajarkan Islam kepada penduduk setempat.

Ini berarti, kedatangan Islam di Filipina jauh lebih awal daripada kedatangan kolonial Barat, khususnya bangsa Spanyol yang masuk ke kawasan itu pada 1566 M.

Adalah Raja Baguinda, seorang pangeran dari Minangkabau, Sumatra Barat, tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Raja Baguinda tiba di Kepulauan Sulu setelah berhasil mendakwahkan Islam di Kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas kerja kerasnya, Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao, pun akhirnya memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis.

Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan peraturan hukum, yaitu Manguindanao Code of Law, atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab. Manguindanao kemudian menjadi seorang Datuk yang berkuasa di Provinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao. Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya. Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada di bawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar datuk atau raja.

Versi lain menyebutkan, Islam datang di Kepulauan Filipina jauh sebelum kedatangan Villalobos--seorang penjelajah Spanyol yang memasuki Filipina pada 1542. Islam sudah dikenal di beberapa daerah di Filipina pada abad ke-8 sampai 10, yakni tatkala Islam mengembangkan sayap ke segenap penjuru dunia. Ketika itu, saudagar-saudagar Arab sudah menginjakkan kaki ke kawasan Asia Tenggara, termasuk ke Kepulauan Filipina. Ini dibuktikan dengan adanya laporan seorang pengembara Cina pada zaman Dinasti Yuan (1280-1368).

Disebutkan bahwa pada kurun ini Kepulauan Jolo di barat daya Mindanao, sudah menjadi pusat perdagangan, disinggahi saudagar-saudagar Arab, Muangthai, Indonesia, dan India. Di Jolo, kebudayaan Islam berkembang pesat sementara penduduk asli Filipina lainnya, termasuk Mindanao, masih terbilang primitif. Para saudagar Arab pun memperlihatkan pengaruh besar. Mereka pula yang mula-mula mendirikan kesultanan Islam.

Syeikh Abu Bakar, orang Arab kelahiran Makkah, pada 1450 mendirikan pemerintahan di Buansa (Jolo). Di bawah pemerintahan Abu Bakar, pengkajian Islam mulai dilaksanakan secara luas. Lembaga-lembaga politik dibentuk sesuai dengan garis-garis Islam. Para dai dikirim ke luar Buansa untuk mengislamkan penduduk di sekitarnya. Awal abad ke-15, Raja Baguinda mendirikan kesultanan di tepi Sungai Kotabato. Islam terus menjalar ke utara dan pada abad ke-16 pengaruhnya sampai ke Kepulauan Visayas, Teluk Manila. Kemudian, di sanalah terjadi bentrokan dengan orang Spanyol.

Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik ekspedisi ilmiah Ferdinand de Magellans. Spanyol menaklukkan wilayah utara dengan mudah tanpa perlawanan berarti, tapi tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Mereka justru menemukan penduduk wilayah selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani, dan pantang menyerah. Tentara kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian dengan jarak kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu. Kesultanan Sulu pada akhirnya takluk pada 1876 M.

Sekalipun gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya. Pada 1898 M, Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat melalui Traktat Paris. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri sebagai seorang sahabat yang baik dan dapat dipercaya. Ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898 M) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, serta kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro.

Namun, traktat tersebut dianggap hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Filipina utara pimpinan Emilio Aguinaldo. Terbukti setelah kaum revolusioner kalah pada 1902 M, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903 M), Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah Provinsi Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu.

Malapetaka
Sejatinya, kedatangan bangsa Eropa dan Amerika, boleh dikata, merupakan malapetaka bagi Moro. Migrasi secara besar-besaran tak bisa dihindari. Konflik budaya, kekuasaan, ekonomi, dan kepentingan-kepentingan lainnya, membuat Mindanao panas. Buntutnya, muncul persoalan multikompleks. Golongan Islam merasa bahwa mereka adalah pewaris sah Mindanao dan daerah-daerah yang pernah dikuasai Islam. Sementara itu, para migran--umumnya beragama berbeda--mayoritas telah merasa secara sah pula mendiaminya.

Muncul pula kecurigaan bahwa pemerintah terlalu berpihak sebelah. Orang Moro yang kebanyakan hidup bertani tak percaya pada pemerintah Filipina. Mereka lebih percaya pada para datuk yang menjadi pemimpin lokal. Segala undang-undang dan hukum yang dikeluarkan pemerintah cenderung diabaikan. Soal tanah, misalnya, mereka lebih mendengar fatwa datuk. Sesuai tradisi, tanah adalah kepunyaan marga (clan) dan diatur oleh datuk. Datuk pula yang berhak mengendalikan hukum adat, seperti tradisi peradilan agama, poligami, perkawinan, dan perceraian.

Sebaliknya, pemerintah menganggap umat Islam Mindanao sengaja mengisolasi diri dari golongan lain. Mereka dituduh antipati terhadap pemerintah, bahkan cenderung menunjukkan sikap bermusuhan. Pemerintah merasa telah berusaha semaksimal mungkin untuk membangun Mindanao. Misalnya, dengan mengadakan perbaikan di bidang kesempatan kerja, ekonomi, sosial, dan budaya. Inilah, agaknya, yang perlu diurai: mendekatkan kesamaan dalam perbedaan.

Kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah pada akhirnya melahirkan perlawanan baru. Dibentuklah apa yang disebut sebagai Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971. Perkembangan berikutnya, MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah: Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim. Namun, dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993).

Kini, melihat kondisi Muslim di Filipina Selatan, ada yang menyebutnya sebagai minoritas di negeri sendiri.
sumber : republika
http://www.sangpencerah.com/2015/01/filipina-negeri-yang-dimurtadkan-dulu.html